Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Manusia Sejuta Perkara Chapter 5



***
Sekarang, saatnya aku pulang. Meninggalkan tempat yang penuh dengan aturan dan hukuman ini. Aku merasa berat menggendong tas besar ini. Aku tidak tahu kenapa, padahal aku jarang sekali membawa buku-buku pelajaran. Karena menurutku membawa tas berat itu tidak lantas membuatku menjadi siswa yang pandai tetapi mungkin hanya akan menghambat pertumbuhan ku akibat pundak ku yang selalu tertekan.
Mungkin tas ku sekarang ini terasa begitu berat karena di dalamnya terdapat selembar kertas. Tapi jangan salah. Biarpun itu hanya selembar kertas, di dalamnya termuat ribuan kemungkinan akan nasibku. Selembar kertas itu ibarat tiket masuk ke masa depan ku nanti. Tetapi belum ku ketahui apakah masa depanku itu menyenangkan atau bahkan suram. Hhmmm lagi-lagi aku merasa bingung. ‘Kenapa hidupku selalu terselimuti kebimbangan’ tanyaku dalam angan.
Sore ini nampak sangat berbeda. Tak biasanya aku menanti mama ku pulang bekerja di teras rumah seperti saat ini. Padahal kalian juga tahu hal yang paling aku benci adalah waktu orang tua ku pulang. Tapi sekarang? Aku malah tidak sabar menanti waktu itu untuk segera tiba. Kalian pasti bingung, apalagi aku. Jadi jangan tanya padaku, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang kenapa sore ini sangat konyol.
Segelas kopi hitam temani senja, yang membuat lidah ku sepahit pikiran ku. Ku lihat dari kejauhan kilap kilau mobil sport warna merah milik mama menyilaukan mata ku.
‘Tttiiiiititt’ bunyi klakson memerintah satpam untuk segera membuka gerbang rumah untuk mamaku.
Mataku bergerak mengikuti setiap pergerakan mobil mama yang masuk dan segera mendekati ku. Mama ku membuka pintu dan turun dari mobil mewahnya. Aku beranjak berdiri, menyambut mama. Dengan sedikit senyum merayu.
Mama ku hanya melirik, tersenyum sayu dan meninggalkanku begitu saja. Mungkin dia lelah. Atau mungkin dia ingin segera bersantai dengan mandi susu yang katanya bisa menghilangkan rasa penat. Biarkan saja. Bisa di bilang mama ku masih muda, karena ia menikah dengan papa diumur ke-20 dan saat ini mempunyai satu anak yaitu aku. Jadi maklum jika mama masih senang perawatan untuk kecantikannya. Lagipula dia juga punya biaya untuk itu.
Aku mengikutinya masuk, dan pergi ke kamar ku. Menantinya selesai dari kesibukannya yang entah itu apa. ‘Oohh kenapa mamaku lama sekali. Setahuku dia tadi cuma mandi, tapi kenapa seperti orang tidur. Aku tak terlalu paham soal wanita. Wanita itu ribet, sulit di mengerti, dan susah di tebak. Katanya wanita itu istemewa, tapi menurutku tidak. Semua wanita sama. Mereka hanya bisa menyalahkan, menyakiti, dan memperbudak kesetiaan pria. Dunia model apa ini? Pria kalah sama wanitanya.’ aku mengoceh seperti burung.
Aku sudah tak sabar memberikan surat panggilan ini kepadanya. Aku ingin melihat apa reaksi dia ketika membacanya. Lantas aku masuk ke kamarnya, kulihat ia sedang duduk berias diri di depan cermin. ‘Sepertinya mama ku mau pergi, tapi kemana? Dan dengan siapa?’ kataku dalam hati. ‘Ah terserah, aku tak peduli. Malas juga mau tanya-tanya. Aku kesini juga cuma ingin memberikan surat ini, bukan mau mengintrogasi dia’ sambungku.
“Maa, ini ada surat panggilan dari sekolah.” ucapku sembari menyodorkan kertas itu ke mama ku.
“Taruh saja disitu.” Jawabnya pendek, terlihat sibuk dengan make up nya.
Ku taruh kertas itu di atas meja, dan keluar dari kamar mama ku. Mungkin sebentar lagi dia selesai dan segera membacanya. Tak lama kemudian dia membuka kertas yang terlipat itu. Ku mengintip dari luar kamar. Dia tak menampakkan ekspresi apapun kecuali muka datar. Dia membaca kertas itu juga sangat sebentar. Tapi biarlah, mungkin dia tergesa-gesa.
Mama ku keluar dan akupun juga ikut pergi. Tapi tidak bersama mama ku, melainkan pergi bersenang-senang bersama kawan-kawan ku. Menghabiskan setiap menit dan detik malam ku ini. Menanti datangnya mentari esok pagi di temani kopi susu, dan makan-makanan yang cukup untuk menggoyangkan lidah kami semalaman.
Dan sekarang hari itu telah tiba. Terasa begitu lama aku menantinya tapi kenyataannya hanya selang satu hari saja. Mungkin karena terlalu banyak kejadian yang dapat aku kisahkan.
Pagi ini mama ku ke sekolah, memenuhi panggilan dari sekolah. Serasa aku tak ingin berangkat ke sekolah hari ini. Membayangkan apa yang akan terjadi pada ku dan apa yang akan mama lakukan padaku membuatku ngeri sendiri. Tapi tak apalah. Aku akan terima semua itu dengan hati terbuka. Aku bukanlah pecundang yang tak mau menampakkan wajahku, kan kuhadapi semua sebab dan akibatnya. Semua itu adalah tantangan yang harus ku hadapi, dengan sedikit senyuman tentunya.
Di dalam kelas, aku mengikuti setiap kegiatan pembelajaran dengan keadaan hati dan pikiran yang tidak tenang. Aku memikirkan mama ku yang berada di dalam ruang sana. Menduga-duga apa saja yang dibicarakan Guru BK itu dengan mama ku.
Lain dengan perasaan cemas ku, di sisi lain dalam perasaan ku terselip rasa senang. Karena mama ku mau menyempatkan waktunya untuk datang ke sekolah.
Detik demi detik berlalu. Tiba-tiba handphone ku bedering, pesan baru muncul di layar hanphone ku. Segera aku membukanya. “Nanti pulang sekolah mama tunggu di depan gerbang sekolah.” itulah pesan singkat dari mama ku.
Aku merasa sedikit bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mama ku mengirim pesan itu? Lalu apa maksudnya? Dalam diriku muncul tanda tanya besar.
Hari ini jadwal pelajaran kelas kami adalah matematika. Mata pelajaran yang sangat tidak aku sukai. Kenapa begitu? Karena matematika mengandung miliaran rumus yang sulit untuk ku pahami. Banyak rumus yang ku anggap tidak masuk akal. Aku bingung kenapa ilmuan bisa memperoleh rumus semacam ini. Dari mana mereka mendapat hasil perhitungan dari suatu benda tertentu.
Yang sampai saat masih membuat ku ragu akan kebenaran dalam rumus matematika adalah jika 1+1 hasilnya 2. Entahlah.
Setelah berjam-jam rasanya aku bergelut dengan angka-angka logaritma, dengan pangkat dan dengan guru tua buncit itu, akhirnya kelas neraka itu selesai juga. Ditemani bayangan ku diarah timur, aku melangkah menuju gerbang sekolah, atau tepatnya gerbang peradilan suatu mahkamah, dimana semburat wajah mama ku menghantui ku.


........bersambung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Manusia Sejuta Perkara Chapter 4

‘Kapan pulang?..kapan selesai?..’ Aku terus saja menggerutu, memaki keadaan ku sekarang ini.
Ku lihat, warna merah pada jam digital di tangan Galang berpindah sedikit demi sedikit, yang awalnya menunjukkan pukul 10.00 sekarang sudah menyentuh angka 11. ‘Huuhhh..hahh..hhuuhhhhh…..’ seakan aku baru saja menelan magma, aku merasa dehidrasi. Seluruh sendi ku ngilu melihat lorong kamar mandi yang masih sangat panjang.
“Siapa yang haus ?.”, Tanya ku pada mereka bertiga.
“Akuu~”, dengan serempak mereka mengacungkan jari.
“Baiklah akan ku traktir kalian…”, jawab ku.
Sebelum kami beranjak pergi, mencari kesegaran untuk tenggorokan kami. Kami memakai nyong-nyong biar tak bau. Yah, kalian tau bagaimana aroma kami setelah bersenggama dengan kumuhnya kamar mandi. Bau busuuuk!, itu pasti.
Kami mengendap-endap seperti maling. Keadaan yang memaksa kami jadi begini. Sudah satu jam lebih kami membersihkan kamar mandi ini, tapi kenapa tidak kunjung usai? Terpaksa kami lari dari tanggung jawab kami. Menghentikan aktifitas hina ini dan mencari minuman, kami merasa sangat haus.
Bergelas-gelas teh kami habiskan di warung depan sekolah.
‘Bbhhrrr~’ kesegaran hadir dalam diri kami.
Gorengan hangat menjadi pengganjal perut kami, berbatang-batang rokok menjadi penghilang rasa pusing kami.
Setelah kami puas, kami kembali ke kelas. Sebelum ketahuan Pak Teguh. Berjalan ditemani gurauan konyol teman-teman ku. Saling dorong-mendorong. Seperti kembali ke masa kecil dulu.
‘Tok..tok..tok’ ketukan pintu mengawali kedatangan kami.
“Silahkan masuk.” Kata Pak Teguh sembari membukakan pintu untuk kami. “Sudah selesai kah? Sambungnya.
“Sudah Pak.”, jawab Yudhi dan Riko. Lalu kami masuk, seolah-olah memang kami telah menyelesaikan hukuman itu.
“Kalian pikir saya percaya! Saya tahu kalian tadi pergi jajan.” ucapnya, menatap kami dengan tatapan sinis.
“Hehe, kok Bapak bisa tahu?.” Tanya Galang, tertawa kecil namun ekspresinya kebingungan.
“Tadi Indah ijin ke kamar mandi, dia tidak melihat kalian membersihkan kamar mandi tetapi malah enak-enakan jajan di luar.” Jelasnya.
Sesaat, kami menoleh ke arah Indah. Kami marah! Kami kesal! Andai Indah itu laki-laki, sepontan tangan kami pasti akan mengotori wajah juga badanya. Yah, kami akan memukulinya. Tapi sayang, dia perempuan. Aku takkan mungkin tega menyakitinya. Apalagi melihat dia diam tertunduk, seperti telah menyesal melaporkan kami ke guru berengsek ini.
Tiada hari tanpa hukuman. Yah, kami akan menerima hukuman lagi. Apapun itu hukumannya, aku tak peduli. Yang jelas aku tak akan pernah melaksanakannya.
Entah apa yang terjadi pada guru aneh itu, aku juga tak mengerti. Tapi kenapa dia tak menghukum ku lagi? Padahal aku telah berbuat salah dan juga membuatnya kesal. Mungkin dia kesambet setan di sekolah angker ini? Atau mungkin dia merasa kasihan padaku?  Ahh terserahlah. Anggap saja ini keberuntunganku. Dan aku harus menggelar pesta besar-besaran malam ini.
***
Satu demi satu mata pelajaran ku lewati. Detik demi detik ku lalui. Terduduk manis di bangku ku. Mendengarkan setiap ocehan guru, dan sekarang waktunya pulang.
‘Hoooorreeee!’ sorakan girang menghiasi hatiku. Bahagianya…aku bisa meninggalkan tempat ini. Serasa aku baru saja keluar dari penjara, terbebas dari jeruji-jeruji besi yang menyekapku. Perintah-perintah yang disuguhkan kepadaku, disuruh-suruh layaknya seorang budak. Sekali lagi aku merasa bebas!.
Sudah jadi kebiasaanku, sepulang sekolah aku pasti mampir ke rumah Rio. Sehari tanpa kerumahnya dan berjumpa dengan kawan-kawanku, aku merasa separuh jiwaku hilang. Rumahnya kecil juga sempit, tapi seperti surga. Tak seperti rumahku, besar nan mewah tapi seperti neraka.
Rokok, ciu, vodka, bahkan narkotika ada di sana. ‘Posturnya sih rumah, tapi dalamnya seperti mall. Semuanya ada. Hahah lucu juga ya’ hatiku berkata, tersenyum geli. Seakan rumah itu adalah pusat dari kegiatan biadab kami.

Sekilas memang nampaknya rumah itu polos. Memang rumah itu tak bersalah, namun penggunaanya yang melampaui batas sebagai rumah pesta narkotika-lah yang salah. Rumah itu seakan lorong ajaib untuk mengubah mu dari Beauty menjadi Beast.

.....................bersambung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Manusia Sejuta Perkara Chapter 3

“Suruh saja kesini. Paham nggak.? Tegasnya, sambil menyodorkan selembar kertas padaku.
Mungkin sejenis surat panggilan untuk orang tua. Atau apalah itu aku juga tak terlalu paham soal begituan.
“Iya, kalau begitu saya kembali ke kelas ya Pak.” Pintaku, tak sabar ingin segera keluar dari ruangan aneh ini.
“Ya, silahkan”
Sebelum keluar, aku berjabat tangan dengannya. Berlagak sok baik, yah, sebenarnya itu hanya formalitas belaka, hanya sekadar tudung yang menutupi kemunafikkan, bahwa aku sangat membencinya.
Aku kembali ke kelas ku. Berjalan anggun bak seorang bangsawan Inggris yang akan menghadap Rajanya. Nampak berwibawa. Saat aku membuka pintu kelas ku, semua mata tertuju padaku. Seolah aku adalah pangeran menawan dari dalam dongeng, mereka terkejut saat aku berdeham dengan keras. Menyadarkan mereka dari alam mimpi, yang berspekulasi tentang kemungkinan apa saja yang mungkin terjadi pada ku.
“Bbay.. appa yangg terjaadi ?.” tanya Ardi parau, tersirat kekhawatiran dari setiap ritme kata yang dia ucapkan.
“Entahlah, mungkin penentuan jalan kehidupan ku nanti, uhh !.” ku jawab Ardi sekenaku.
Aku mulai terduduk, merenung dan menggerutu. Senang dan juga sedih, aku bisa bebas dan lepas tanpa harus termaktub dalam kubangan peraturan sekolah. Namun sedih karena terbayang reaksi kedua orang tua ku. Bagaimana marah dan kecewanya mereka. Arrghh, pikiran ku melayang mengarungi dasar jurang yang sangat gelap, jurang kemungkinan.
            Ingin segera aku meninggalkan tempat ini. Dan melampiaskan rasa kesal ku di luar sana. Tapi sayang, masih ada tiga mata pelajaran yang harus ku ikuti.
            Dan ohh! Aku lupa, aku belum mengerjakan PR Bahasa Indonesia. Kau tau? Guru Bahasa Indonesia kami sangat galak. Ia biasa tampil dengan celananya yang congklang, kaca matanya yang sudah lawas. Terlihat begitu norak.
            Melangkah dengan tegap. Menenteng buku-buku tebal, sebatas bergaya agar terlihat kharismanya sebagai guru. Tatapan matanya tajam.
Semua kepala menoleh kearahnya. Lalu bergegas masuk ke kelas mereka masing-masing. Takut mungkin? ‘Hahahaha.!’ Dalam hati ku tertawa geli.
Membayangkan dia berjalan di depan kelasku, lalu masuk ke dalam ruangan ini.
“Selamat pagi anak-anak..” menyapa kami seperti anak TK dengan suaranya yang cempreng.
Ku terperanjat dari skenario angan ku. Tak ku sadari Pak Teguh sudah ada di hadapanku. Menatapku dengan tatapan tajam. Ku lihat semua sibuk membolak-balikan buku, sedangkan aku? Kebingungan, seperti orang baru terbangun dari tidurnya.
“PR mu mana?.” Tanyanya.
“PR apa ya pak?.” Tanyaku pada si tua  itu berlagak lupa akan PR itu, seakan dia masuk kelas ku sudah satu abad yang lalu.
“PR yang bapak berikan kemarin, yang harus dikumpulkan hari ini ! Anak-anak apa kalian ingat hukuman apa jika tidak mengerjakan PR ?.”, tantang pak tua itu pada seluruh siswanya.
“Iya, membersihkan kamar mandi Pak!.” Seluruh siswa menjawab serempak.
“Hehehe” aku nyengir di depan mereka semua.
“Apa ada yang tidak mengerjakan PR selain Bayu?.” Ucap Pak Teguh, menuju tempat duduknya.
“Saya Pak~.”
Satu demi satu siswa mengaku, karena takut kepada Pak Teguh.
“Tunggu apa lagi, cepat kalian berempat membersihkan kamar mandi!.” Perintah Pak Teguh dengan nada sedikit membentak.
Aku, Galang, Yudhi dan Riko bergegas ke luar kelas menuju pekerjaan yang telah menunggu kami.
“Uhhh, menyebalkan!.” Kataku menggerutu bersama mereka.
Lagi-lagi aku mendapat hukuman. Tapi ya sudahlah!. Aku sudah terbiasa dengan hukuman-hukuman semacam ini, atau lebih buruk dari ini. Satu dua perkara takkan mampu membutakan dan menghentikan kebrutalanan ku, dan aku akan terus berperkara. Karena aku terlahir sebagai manusia yang tak sempurna. Aku bangga menjadi manusia dengan sejuta perkara ku. Dengan itu aku merasa menjadi diriku sendiri meskipun banyak orang tak tak suka padaku, bahkan meginginkan aku lenyap dari bumi ini. Menginginkan ku hengkang dan jatuh ke dalam raungan neraka. Tapi apa peduli ku, hukumpun tak mampu melunakkan kerasnya hati ku yang lebih keras dari baja ataupun berlian. Siapa mereka, mengatur semau mereka seenak mulut dower mereka.
Tapi menyangkut hukum, aku lantas tersirat tentang nasib ku kedepan. Aku terjebak dalam kubangan lumpur hina narkotika, bergulat dengan alkohol dan bercengkrama akrab dengan kupu-kupu malam.
Kecipak kain pel yang jatuh tepat di depan sepatu menyadarkan ku, di depan ku berdiri sosok menakutkan seperti Godzila sedang berkacak pinggang. Pak Teguh sedang menatap ku tajam setajam golok, golok yang sangat ingin ku pakai untuk memaki-makinya, hanya sekedar untuk memaki tak lebih dari itu.
“Sudah selesai belum.” ucapnya, sambil menatap kami satu persatu.
“Belum Pak, sebentar lagi!” jawab kami dengan nada sedikit kesal.
“Ya sudah, lanjutkan sampai bersih ya!.” Perintahnya, seolah kami adalah budak yang harus menuruti perintah majikannya.
Pak Teguh melangkah meninggalkan kami. Huuuh legaa.

‘Kapan pulang?..kapan selesai?..’ Aku terus saja menggerutu, memaki keadaan ku sekarang ini.

................bersambung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Manusia Sejuta Perkara Chapter 2

’Brraaaakkkk !’

 Suara gebrakan menjadi melodi sesaat, suara Pak Burhan seolah hanya siulan di tengah bisingnya lingkungan. ‘Plak’, tamparan tangan kotor Pak Burhan mengusap mesra wajah ku.
“ Bayu, kenapa kamu tidur di kelas ?!” cerocos guru tua itu dengan mulut komat-kamit,
“Bayuu~ !”
“Iya Bur ada ap… ups, maaf maksud saya Pak Burhan ada apa?”
“Kamu tanya ada ap….” Tiba-tiba pak tua itu ambruk terduduk sembari memegangi dadanya, terlihat perut besarnya maju mundur dengan cepat. Napasnya tersendat-sendat. Aku yakin asma pak tua ini kumat. Atau mungkin dia kena serangan jantung. Oh tidak!
Anak-anak mendekati Pak Burhan. Sedangkan Ardi bergegas berlari memanggil guru yang lain, mencari pertolongan. Oh My God! masalah.
Kemudian para Guru berdatangan. Mereka segera membawa Pak Burhan dengan dragbar keluar ruangan dengan di bantu tim PMR di sekolah ku. Semua panik. Sementara aku lebih dari panik. Kebingungan dan rasa takut perlahan menyelimuti diriku. Menduga-duga apa yang pihak sekolah akan lakukan kepada ku. Apa aku akan dikeluarkan dari sekolah ini? Atau lebih buruk dari itu? Dipenjarakan misalnya? Aku merasa akan menjadi gila bila itu semua akan terjadi. .
Jam pelajaran fisika pagi ini kosong. Biasanya aku merayakan kekosongan ini dengan sorakan-sorakan kegirangan. Tapi tidak untuk saat ini.
Teman-teman sekelas ku sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang mengerjakan PR, menyanyi bersama dengan iringan gitar dari salah satu teman ku yang membawa, bahkan ada juga yang pacaran. Kebetulan pacarnya satu kelas dengannya. Mereka menunjukan kemesraan mereka tanpa malu ataupun risih, menganggap bahwa diri mereka seperti manusia tanpa beban dan dosa.
Sedangkan aku, mudut menerawang kosong. Setiap sudut memoriku berkelebat pikiran buruk tentang nasibku nanti. Tanpa sadar aku berbisik dalam hati. ‘Kalau aku harus dikeluarkan dari sekolah ini aku siap. Karena itu memang keinginanku selama ini. Tapi biarpun begitu, aku merasa kehilangan. Oh, apa-apaan ini!’ Terjadi berdebatan hebat dalam batinku. Suara jeritan salah satu temanku, membuatku tersentak dan terbangun dari lamunanku. ’Huuft~’  Kutarik napas dalam-dalam, untuk meredakan sesak di dadaku.
Ku lirik kanan kiriku. Mereka masih asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Aku beranjak dari tempat duduk ku, pindah ke sudut ruang kelas. Duduk nyaman di atas meja. Sahabatku Ardi mulai memperhatikanku. Lalu ia melangkahkan kakinya mendekat kepadaku.
“Apa yang membuat wajahmu begitu kacau teman?” Ucapnya lirih sambil menepuk pundakku pelan.
“Yeah, Pak Burhan. Apa menurut loe becandaan gue tadi terlalu kejam untuk orang yang sudah tua seperti dia?” Kutolehkan kepalaku menghadap kearah Ardi.
“ Umm, iya Bay, loe keterlaluan tadi.”
Jawaban Ardi seolah menjadi tamparan telak bagiku serta kenyataan yang akan segera menghampiriku, bahwa sebentar lagi akan ada salah seorang guru atau mungkin pihak BK yang mendatangiku.
Tepat sesuai dugaanku, beberapa menit kemudian ada yang membuka pintu kelas kami dari luar.
“ Bayu Mahardhika ada?” Tanya Pak Fikri, Guru BK kelas sebelas di sekolah ku.
Spontan aku turun dari meja tempat aku duduk tadi. Dan aku menjawab “Saya Pak, ada apa ya Pak?
“Ikut ke ruangan Bapak sebentar!” Jawabnya dengan nada sedikit membentak dan segera berbalik melangkah meningggalkan kelas.
“Iya Pak.” Dengan berat, ku seret kakiku melangkah mengikuti Pak Fikri.
Dia melangkah membawaku pergi dari kelasku, menuju ke tempat yang ku anggap sebagai ruang pengadilan. Dimana aku akan menerima sebuah keputusan yang telah ia tetapkan. Ketukan palu yang memaksa diriku mau tidak mau harus menjalani keputusannya itu.
Mungkin aku sudah terbiasa menghadapi berbagai perkara. Bahkan bisa dibilang aku mahir dalam membuat masalah dan cara mengatasinya. Tapi kali ini benar-benar berbeda. Aku hanya menunduk dalam setiap tapak langkah kakiku. Melupakan diriku yang selalu membuat keributan. Aku lupa caraku menjadi seorang Bayu yang angkuh dengan segala perilaku yang konyol.
***
‘Deg..deg..deg!’
Jantungku berdegup kencang saat setelah aku sampai di depan ruang Bimbingan Konseling. Pintu itu seakan menyapaku dengan lambaian mengejek menyambut kedatanganku.
“Ayo masuk.” Ajak Pak Fikri, seolah tak sabar ingin segera menghakimi ku dengan napsunya.
Aku  pun segera melangkah masuk walaupun kegelisahan menyergapku sedari tadi.
“Silahkan duduk.” Pak Fikri kembali berucap, nada ramah namun berbahaya.
Dia menatap ku dengan penuh amarah tetapi masih bisa tersenyum. Dia bak ular, tenang namun siap mematuk dan membunuh mangsanya. Jika kalian mejadi diriku, apa yang kalian akan lakukan? Tentu kalian tak bisa berbuat apa-apa bukan. Sama dengan diriku, aku membisu. Namun pikiranku melayang kemana-mana.
“Besok pagi orang tua mu suruh kesini.!” Perintahnya, sambil melirik mataku.
“Memangnya ada apa ya Pak.?” tanyaku berlagak o’on.

“Suruh saja kesini. Paham nggak.? Tegasnya, sambil menyodorkan selembar kertas padaku.

...................bersambung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Manusia Sejuta Perkara Chapter 1

B AB 1
(Dunia ku)

Jam dinding seolah mengejek kami dengan dentangan-dentangannya yang mengusik telinga. Kelas begitu membosankan. Ocehan guru seolah menjadi lulaby bagi kami. Kami mengantuk! Kami lapar! Kami ingin pulang.
Sebenarnya aku terpaksa memakai seragam putih abu-abu ini, dan memikul tas berisikan sampah. Ya, untuk apa berpendidikan tinggi kalau akhirnya hanya akan menjadi tikus-tikus menjijikan bagi rakyat bawah. Menggerogoti dunia ini agar cepat hancur.
Aku lebih suka hidup di jalanan bersama teman-temanku. Berbuat semauku. “Lebih baik brandal tapi jujur daripada baik tapi munafik.” ya itulah prinsipku. Aku tak suka dikekang, karna aku bukan anak TK yang harus selalu menuruti semua perintah orang tuaku.
Bagiku sekolah bukan hanya tempat untuk menuntut ilmu. Tapi juga sebagai tempat dimana aku melampiaskan semua kekesalan yang ada pada diriku. Membuat keributan, menggoda wanita-wanita cantik, menjadikan sekolah sebagai media tawuran, atau melakukan hal yang mungkin tak pantas dilakukan anak remaja yang masih bersekolah sepertiku ini. Tapi, itu semua merupakan hobby yang sangat kusenangi selama aku hidup ini.
Kalian tau? Aku berteman dengan orang-orang yang putus sekolah. Mereka mungkin salah satu penyebab kenapa aku jadi seperti ini. Tapi bagiku mereka asyik. Mereka mengajariku tentang bagaimana bertahan dari kepedihan hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka bebas tanpa terbelenggu peraturan apapun. Seperti melupakan semua lara hati dengan minum-minuman dan narkoba. Yah, meskipun aku tau perbuatan itu perlahan akan membuatku terseret ke dalam lubang hitam tak berdasar. Tapi, apa peduliku. Orang tuaku juga tak peduli padaku. Bahkan, mungkin tak ada yang pernah benar-benar peduli kepadaku.
***
Siang itu kami sedang bergulat dengan pelajaran Fisika, Pak Burhan menjelaskan tentang Gerak dan Gaya. Sesekali ia mencoret-coret papan menambah penjelasan. Siang bolong seperti ini kami disuruh mencatat, menghitung, dan menjawab soal dari Pak Burhan dengan keadaan perut kosong. Apa kami bisa berpikir? Ini sangat membosankan bukan. Udara panas menambah ketidaknyamanan suasana kelas. Kami mulai kehilangan konsentrasi. Dan aku tak sabar ingin segera pulang. Kawan-kawan ku pasti sudah menungguku di rumah Rio.
Saat Pak Burhan keluar ruangan entah mau kemana, disitulah kesempatanku untuk bolos sekolah. ‘BRRUUKKK..!!’ ku lemparkan tas ku ke bawah. Waktu itu kelasku di lantai dua. Aku mengajak Ardi untuk ikut membolos juga, tapi dia tidak mau. Walaupun dia teman gilaku tapi dia sedikit penakut. Baiklah, aku bolos sendiri.
Saat aku beranjak keluar kelas, tiba-tiba Pak Guru datang.
“Bayu, kamu mau kemana?” tanya Pak Burhan.
“Ma..mau ke..ke kamar mandi pak.” jawab ku gugup.
“Ya sudah, silahkan.”
Setelah Pak Guru masuk kelas, aku bergegas lari turun tangga dan mengambil tas ku. Berusaha kabur seperti buronan. Yes! berhasil. Dan saat aku sampai di dekat gerbang, ada dua orang Guru di pos satpam. Namanya Pak Teguh dan Pak Budi.
“ Kok sudah pulang?.” Tanya mereka sedikit curiga.
“ Iya pak, jamnya sudah habis.” Jawabku. Terpaksa aku harus berbohong lagi.
***
Sepulang sekolah, aku tidak selalu pulang ke rumah. Terkadang aku pergi ke suatu tempat dimana aku dan geng ku biasa berkumpul. Bisa dibilang itu markas, tapi sebenarnya bukan, hanya saja sebuah rumah kecil tempat sobatku tinggal.
Di sana banyak kawan, rumah yang penuh dengan canda tawa dan gurauan. Rio, Yudha, dan Bima. Mereka sejiwa, dimana saja selalu bersama. Berbagi kebahagiaan meski sebenarnya dunia mereka kelam.
Namun kesederhaan mereka yang unik membuatku nyaman ditempat ini dan juga membuatku malas pulang ke rumahku sendiri. Rumah yang penuh dengan amarah, seperti neraka. Karena setiap kali aku berada di rumah aku merasa kesepian juga kesal. Tak ada hal yang bisa ku lakukan, mungkin hanya menjemput mimpiku di dalam kamar atau  bermain drum di kamar khusus milik ku.
Hal yang paling membuat aku gila adalah ketika senja mulai tenggelam, Papa dan Mama ku pulang dari pekerjaan yang menguras tenaga dan fikiran mereka. Bukannya di rumah bisa berkumpul bersama, tetapi mereka malah bertengkar tanpa  memperdulikanku. Entah apa yang mereka ributkan aku tak peduli. Yang jelas aku merasa berada di suatu tempat yang penuh dengan jarum dan duri, dengan kakiku yang beralaskan cairan merah menodai lantai. Oh Tuhan, apakah harus seperti ini sambutan yang kuperoleh ketika mereka pulang? Haruskah?
Aku tak akan tahan kalau harus seperti ini setiap harinya. Aku manusia biasa yang bisa terluka juga. Aku telah dipusingkan dengan masalah di sekolah jika harus ditambah dengan masalah dari keluarga aku tak akan sanggup.
Kalau sudah seperti ini, aku pasti akan lari menjauh dari neraka ini menghampiri teman-temanku. Karena hanya mereka yang mengerti perasaan ku. Menemaniku disaat aku sendiri. Dan menghiburku disaat aku dirundung pilu.
Berbotol-botol alkohol menjadi obat rasa sakit di kepala ku. Dan narkoba pun menjadi penenang kesakitan hatiku. Kami berjalan menyusuri lingkaran setan tanpa ujung. Merusak apa saja sesuka hati kami, menutup mata dan telinga kami atas segala perasaan bersalah kami. Saat seperti ini kami adalah bagian dari iblis.
Kami seperti hilang kendali. Menjadi sebodoh-bodohnya manusia. Tapi aku tak hiraukan lingkungan ku, aku tak peduli kata mereka. Ini hidupku, bukan hidup mereka. Aku merasa sedikit membaik kalau sudah seperti ini. Serasa aku telah menggapai bintang di angkasa.
Perlahan aku mulai tak sadarkan diri. Tidur lelap terbuai mimpi, walaupun itu hanya sementara. Setidaknya aku merasa tenang di bawah pengaruh alkohol dan narkoba malam ini.
***
            Ketika fajar di ufuk timur mulai menampakkan wajahnya. Aku segera bangun meninggalkan rumah Rio dan pulang ke rumah. Mengendarai sepeda motorku dengan sedikit sisa mabuk semalam. Akhirnya aku sampai rumah.
            ‘Nggekk’ ku buka pintu perlahan..
“Ada orang nggak ya?” Mengintip seperti pencuri. Aku beruntung, orang tua ku sudah pergi.
Gemericik air yang keluar dari shower mengguyur membasahi tubuh ku, perlahan. Berharap semua kepedihanku hilang, ikut terhanyut terbawa air yang mengalir.
Tak sempat sarapan, aku langsung berangkat sekolah. Yah, Mama ku tak sempat membuatkan ku sarapan, memasak saja Mama ku tak bisa. Kami biasa makan di luar rumah.
Gerbang sekolah seakan tersenyum merayu ketika aku tiba di depan sekolah. ‘Bulshit! aku tak akan pernah terayu olehmu. Sekali aku tak suka dengan sekolah ini maka selamanya aku tak akan pernah suka’. Kataku memaki dalam hati.
“Pagi Bayu.” Gadis-gadis menyapa ku kegenitan.
Kalian tau? Aku memang pria yang cool, keren, dan tampan meskipun brandal. Yah, bisa di bilang mirip artis tampan Robert Pattingson. Itulah yang menyebabkan banyak cewek yang melirik ku. Salah satunya Putri. Dia menjadi primadona di sekolah ini. Ku akui dia cantik. Dia biasa tampil mewah dengan dandanan sedikit menor. Lipstick merah muda menghiasi bibirnya yang tipis, jepit rambut hitam biasa menempel di rambutnya dan seragam rok mini biasa ia kenakan itu. Berjalan seperti Cinderella. Tapi meskipun dia cantik, sebenarnya dia sudah tak perawan. Kenapa aku bisa tau? Itu semua merupakan salah satu rahasia dunia kelamku.
***
Ketika aku masuk ruang kelas ku, semua mata memandangiku. Seolah aku ini seorang terdakwa yang sebentar lagi akan di eksekusi. Entah apa yang salah dengan ku, aku tak mengerti.
Ardi menghampiriku dan berkata “Bay, loe kemarin dicariin pak Burhan.”
“Terus loe bilang apa sob?” tanyaku penasaran.
“Gue sih diem aja, tapi temen-temen bilang kalau loe itu bolos.”
“Sialan!” ucapku sambil  melemparkan tas ku ke meja.
Aku menjadi emosi, pasti nanti kalau aku ketemu Pak Burhan aku bakalan dihukum. Huft pagi-pagi sudah badmood apalagi nanti. Ku sarukan wajah ku di meja pesakitan di kelas ku.”Selamat tiduuurrr.”

’Brraaaakkkk !’

...........................bersambung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS